Thursday, October 11, 2012

Resensi buku ‘Nuruddin Zanki dan Perang Salib’

Oleh: Ust. Ali Akbar Bin Agil

Nuruddin Zanki, Pelopor Jihad Melawan Pasukan Salib

Judul : Nuruddin Zanki dan Perang Salib
Penulis : Alwi Alatas
Penerbit : Zikrul Hakim
Terbit : 2012
Tebal : 441 hal.
Harga : Rp. 70.000,00

Tentu kita masih ingat statement George Bush persis tiga bulan pasca tragedi 9/11 dengan menyatakan bahwa perang melawan Al-Qaedah, Taliban, dan memburu Usamah adalah bentuk Perang Salib Jilid II.

Awalnya, ada yang berharap setelah terbunuhnya Osama bin Laden, Amerika akan menghentikan perangnya di Afghanistan. Bukankah alasan Amerika melakukan intervensi untuk membunuh Osama? Namun kenyataannya tidaklah seperti itu. Obama menegaskan kembali bahwa perang ini belum berakhir.

Kita teringat dengan pernyataan Bush yang mengatakan, “This crusade, this war on terrorism, is going to take a long time.” Artinya Perang salib melawan Islam ini memang membutuhkan waktu yang lama.


Apalagi kalau memperhatikan pernyataan Tom Ridge mantan Sekretaris Keamanan Dalam Negeri Amerika dalam editorial The Washington Times (5/5/2011). Saat mengomentari terbunuhnya Osama bin Laden dia mengatakan, “we killed the man but not the ideology.” Artinya yang menjadi sasaran perang ini jelas adalah ideologi Islam yang berseberangan dengan nilai-nilai liberal yang dianut oleh Amerika Serikat. Menurutnya, ini adalah medan pertempuran, perang ide, way of life (cara pandang hidup) Islam dan Amerika yang tidak bisa berdamai dan hidup berdampingan.

Pernyataan mantan pejabat tinggi senior Amerika Serikat ini bukanlah dongeng yang dibuat-buat dan bukan pula hal yang baru. Semua ini menunjukkan permusuhan abadi Barat terhadap dunia Islam bersifat agama dan peradaban yang telah berakar dalam hati dan pikiran Barat. Barat membangun semua hubungan ini atas dasar Perang Salib. Barat tak ingin umat Islam bangkit kembali.

Perang Salib sendiri berawal dari seruan Paus Urbanus II pada tahun 1095 di Clermont, Perancis, tepat pada bulan November. Seruannya membahana di seantero jagat wilayah Eropa. Masyarakat Eropa menyambut antusias dan dengan semangat yang telah membara mereka menyiapkan bekal sendiri guna keberangkatan ke medan laga dengan rela menjual barang-barang berharga miliknya.

‘Khutbah’ Paus Urbanus didasari permintaan bantuan Byzantium (Romawi Timur) kepada Paus. Permintaan bantuan berupa kiriman pasukan perang dimaksudkan untuk menghadapi pasukan Turki yang sering menyerang wilayahnya. Permintaan inilah yang menjadi momentum mengumumkan perang total terhadap pasukan Islam demi merebut Al-Quds. Raymond of Saint-Gilles, Godfrey de Bouillon, Bohemond of Taranto, Baldwin, dan Tancred, merupakan sederet nama panglima perang pasukan Salib.

Setelah serangan bertubi-tubi ke jantung pasukan Islam, maka pada tahun 1099 atau 4 tahun setelah pengumuman perang Paus Urbanus II, Al-Quds jatuh ke tangan pasukan Kristen. Bersamaan dengan jatuhnya Al-Quds pula, tidak kurang dari 70.000 orang Islam yang menghuni wilayah Al-Qudsdi tewas dibantai.

Kekalahan ini membawa duka mendalam di hati umat Islam yang kala itu sibuk dengan debat dalam masalah mazhab, perebutan kekuasaan, yang menyebabkan saling berperang, saling bersaing, dan saling bermusuhan.

Usaha menyatukan umat Islam dimulai dari penguasa Mossul dan Aleppo, Imaduddin Zanki. Gerakan ke arah pembebesan yang lebih intensif dilakukan oleh putranya, Nuruddin Zanki. Dalam sejarah Perang Salib, kaum Muslimin sangat mengenal sosok pejuang Salahuddin al-Ayubi dibanding Nuruddin Mahmud Zanki ini. Namanya tak setenar Salahuddin, sang pembebas kota Yerussalem dari kekuasan pasukan Salib. Meski demikian, Nuruddin-lah yang pertama kali menggelorakan semangat perjuangan itu.

Menurut penulis, Alwi Alatas, upaya Nuruddin Mahmud Zanki membuat umat Islam sadar atas kesalahan dan kelemahan dilakukan dengan menjauhkan pasukannya dari menenggak minuman keras, memerintahkan mereka untuk berkonsentrasi penuh dalam membebaskan Al-Quds dari cengkraman tentara Salib, menghindari konflik dengan sesama umat Islam, menyatukan wilayah-wilayah Islam yang tercecer di Syiria dengan lemah lembut sehingga menarik simpati publik secara luas, dan menerapkan pola kepemimpinan yang amanah, jujur, dan adil.

Seorang ulama Qutbuddin Annisaburi begitu khawatir akan keberanian Nuruddin, "Demi Allah, jangan gadaikan nyawamu dan Islam. Jika Anda gugur dalam peperangan, maka tidak seorang pun kaum Muslimin yang tersisa pasti akan terpenggal oleh pedang,” ujar Qutbuddin. Maka ia pun menjawab, “Siapa Nuruddin itu, sehingga ia dikatakan demikian? Mudah-mudahan karena (kematian) ku, Allah memelihara negeri ini dan Islam. Itulah Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah dengan hak melainkan Dia.”

Nuruddin adalah pemimpin yang selalu optimis. Pembebasan Baitul Maqdis di Yerusalem dari genggaman pasukan Salib adalah hal yang paling didambakannya. Hingga tahun 569 H/1173 M, kerja keras Nuruddin untuk menyatukan kekuatan umat Islam yang terkotak-kotak dalam kerajaan-kerajaan kecil mencapai puncaknya. Berbagai pertempuran dahsyat antara umat Islam yang dipimpinnya dengan pasukan Salib kerap terjadi. Berbagai serangan yang dilakukannya berhasil melemahkan pasukan Salib hingga terpecah belah.

Walhasil, sekitar 50 kota dan benteng yang sebelumnya dikuasai pasukan Salib berhasil direbut. Pada 570 H/1174 M, kekuatan Islam telah terbentang dari Iraq ke Syria, Mesir, hingga Yaman. Saat yang dinanti-nanti untuk merebut Baitul Maqdis pun kian dekat. Namun takdir Allah SWT berkata lain. Nuruddin meninggal akibat penyakit penyempitan tenggorakan. Kepemimpinan kemudian dipikul muridnya, Shalahuddin al-Ayyubi.


Buku ini ditulis secara naratif lengkap dengan tabel informasi penting, gambar, dan peta-peta, untuk membantu pembaca dalam memahami dan mengikuti rentetan peristiwa Perang Salib hingga akhir masa kepemimpinan Nuruddin Zanki.

No comments:

Post a Comment