Wednesday, July 18, 2012

Menjelang Ramadhan 492 H di al-Quds

Diperkirakan 70 ribu kaum Muslimin di al-Qud dibunuh secara kejam

Rabu, 18 Juli 2012

oleh: Alwi Alatas

BEBERAPA hari menjelang Ramadhan, 913 tahun yang lalu, kota al-Quds (Yerusalem) jatuh ke tangan pasukan Salib. Peristiwa ini terjadi pada Perang Salib pertama dan menjadi sesuatu yang sangat menyedihkan dunia Islam pada masa itu.

Pasukan Salib yang dipimpin oleh Raymond of Saint-Gilles, Godfrey of Buillon, dan beberapa bangsawan Prancis dan Italia lainnya itu memang menjadikan al-Quds sebagai sasaran utama mereka. Mereka berangkat sejak pertengahan tahun 1096, sebagai respons atas seruan Paus di Roma untuk merebut al-Quds dan membantu Byzantium dalam menghadapi tentara Turki Saljuk. Setelah berkumpul di Konstantinopel (kini bernama Istambul), mereka bergerak ke Asia Minor dan menaklukkan kota Nicaea pada bulan Juni 1097.

Nicaea ketika itu merupakan ibukota Kesultanan Rum, salah satu kesultanan Bani Saljuk. Pada tahun berikutnya, Juni 1098, mereka berhasil merebut kota Antioch (Antakya) di utara Suriah, setelah mengepungnya selama sembilan bulan. Dan setahun setelahnya, awal Juni 1099, tentara Salib tiba di depan tembok al-Quds.

Ketika itu al-Quds berada di bawah kendali Dinasti Fatimiyah yang berpusat di Mesir.

Pasukan Salib mengepung beberapa bagian kota itu. Mereka membangun menara kayu untuk menembus benteng kota. Mereka berdoa dan melakukan upacara keagamaan dengan berjalan mengelilingi al-Quds tanpa mengenakan alas kaki, sementara kaum Muslimin memperhatikan dari atas tembok kota. Mereka berjuang di tengah teriknya musim panas pertengahan tahun itu, dengan terus mengenakan baju perang, serta adanya keterbatasan akses terhadap air.


Dengan semangat dan kesungguh-sungguhan, pasukan Salib akhirnya berhasil memasuki tembok kota al-Quds dari bagian utara. Hal ini terjadi pada pagi atau siang hari Jum’at tanggal 15 Juli 1099, bertepatan dengan 23 Sha’ban 492 H. Maka, kota ini pun jatuh ke tangan pasukan Kristen Eropa hanya seminggu menjelang masuknya bulan Ramadhan.

Sementara biasanya banyak peziarah Muslim yang datang ke kota ini untuk menetap selama bulan Ramadhan.

Apa yang terjadi setelah itu? Sebagian pembaca mungkin sudah pernah mendengarnya. Puluhan ribu kaum Muslimin yang berada di kota ini dibunuh secara kejam, tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, serta antara orang dewasa dengan orang tua dan anak-anak. Pembantaian terjadi selama tiga hari hingga satu minggu. Berikut ini merupakan penjelasan beberapa sejarawan terkait dengan peristiwa tersebut:

Fulk of Chartes, salah satu saksi sejarah dan penulis kisah Perang Salib I menjelaskan, “Banyak yang melarikan diri ke atap Kuil Sulaiman, dan mereka dipanah hingga jatuh ke tanah dan mati. Di tempat ini hampir sepuluh ribu orang yang terbunuh. Sungguh, jika kalian berada di sana kalian akan melihat kaki-kaki kami berwarna (merah) hingga ke lutut disebabkan darah korban. Tapi seperti apa lagi saya akan menjelaskannya? Tak satu pun dari mereka yang dibiarkan hidup; tak satu pun perempuan dan anak-anak yang disisakan....”

Ibn al-Athir dalam kitab Tarikh-nya menulis, “Di Masjid al-Aqsa orang-orang Frank membunuh lebih dari tujuh puluh ribu orang, sebagian besar dari mereka adalah para imam, ulama, orang-orang shaleh dan para sufi serta kaum Muslimin yang meninggalkan negeri tempat tinggal mereka dan datang untuk menjalani kehidupan yang shaleh pada bulan Agustus/ Ramadhan ini.”


“… tak ada usia ataupun jenis kelamin yang selamat dari amukan mereka,” kata Edward Gibbon dalam History of the Decline And Fall of the Roman Empire. “Mereka melakukan pembantaian selama tiga hari tanpa memilah atau memilih (siapa yang layak dibunuh dan siapa yang tidak)…. Setelah tujuh puluh ribu Muslim dibunuh, dan orang-orang Yahudi yang tak berbahaya dibakar di dalam sinagog mereka, mereka masih memiliki sisa tawanan yang sangat banyak....”

Sementara itu Joseph Francois Michaud, seorang Sejarawan Prancis, menulis dalam bukunya yang dikenal sebagai Michaud’s History of the Crusade, “Tak satu pun air mata kaum perempuan maupun jeritan tangis anak-anak, bahkan tak juga pemandangan atas tempat di mana Yesus telah memaafkan orang-orang yang mengeksekusinya (dahulu), mampu melembutkan hati para penakluk yang sedang marah ini.”

Semua itu sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan apa yang telah terjadi di al-Quds pada masa itu. Dan pasukan Salib yang telah melumuri tangannya dengan darah banyak manusia ini tidak menganggap apa yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu yang buruk atau kedzaliman yang besar. Seolah semuanya biasa saja. “Setelah itu,” kata Fulk of Chartes, “semuanya, para pendeta dan orang-orang biasa, pergi ke Gereja Makam Tuhan (the Sepulcher of the Lord) dan kuilnya yang suci, sambil menyanyikan kidung (gereja) yang kesembilan.”

Kaum Muslimin tidak melakukan hal semacam ini ketika mereka menaklukkan al-Quds dan Palestina pada masa Umar ibn al-Khattab. Penduduk Kristen dan Yahudi di kota itu diperlakukan dengan baik oleh kaum Muslimin sepanjang kota dan wilayah itu dikendalikan oleh kaum Muslimin. Kelak ketika al-Quds direbut kembali oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1187, beliau juga memperlakukan penduduk non-Muslim di kota itu dengan baik. Tidak ada balas dendam atau pembantaian yang dilakukan atas penduduk non-Muslim di sana. Sebaliknya, jatuhnya al-Quds pada tahun 1099 ke tangan pasukan Salib benar-benar merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang besar.


Ketika kota itu jatuh ke tangan pasukan Salib, kaum Muslimin bukanlah bangsa yang lemah. Sebetulnya mereka memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menahan serangan lawan. Hanya saja para pemimpin mereka sibuk mempertahankan kekuasaan masing-masing dan banyak ulamanya dilenakan dengan perselisihan madzhab. Masyarakat yang terdzalimi dan terancam kehidupannya tidak tahu kemana mereka mesti mengadu.

Kira-kira satu bulan kemudian, pada bulan Ramadhan, bertepatan dengan pertengahan Agustus 1099, serombongan masyarakat berangkat dari Damaskus menuju Baghdad, dipimpin oleh Qadi kota Damaskus, Abu Sa’ad al-Harawi. Sesampainya di Baghadad, al-Harawi melakukan sebuah tindakan provokatif untuk memancing emosi kaum Muslimin. Ketika itu hari Jum’at, 19 Agustus 1099, menjelang tengah hari. Orang-orang berbondong-bondong menuju Masjid Jami’ kota Baghdad.

Al-Harawi sengaja duduk di dekat masjid, di tempat yang bisa dilihat oleh banyak orang. Dan dia makan di tempat umum tersebut, ketika semua orang sedang berpuasa. Hal semacam ini jika dilakukan pada hari ini di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim tetapi secara resmi berpaham sekuler, tentu akan tetap menimbulkan kemarahan orang banyak. Apalagi jika ia dilakukan di Baghdad, di pusat kekhalifahan Islam, pada masa itu. Al-Harawi sebagai seorang musafir tentu dibolehkan tidak berpuasa, tetapi orang-orang tidak mengetahui hal ini, dan makan di tempat terbuka di siang hari pada bulan Ramadhan merupakan sebuah pelanggaran etika sosial yang dipandang cukup serius.

Maka orang-orang pun mengerumuni al-Harawi. Mereka menegur dan marah kepadanya. Tapi al-Harawi tetap melanjutkan makannya dengan tenang. Tak lama kemudian petugas keamanan yang berada di dekat situ mulai datang ke tempat itu. Pada saat itulah al-Harawi bangkit berdiri di tengah kerumunan orang ramai. Dengan kemampuan orasinya yang bagus ia bertanya kepada khalayak ramai, bagaimana mungkin mereka bisa begitu peduli dengan pelanggaran puasa di bulan Ramadhan, tetapi pada saat yang sama mereka nyaris tidak peduli dengan pelanggaran dan pertumpahan darah yang menimpa saudara-saudara mereka di al-Quds dan sekitarnya? Bagaimana mereka bisa tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa di sana? Ia memberikan orasi, menceritakan apa yang telah terjadi, dan membacakan syair-syair yang menyentuh, sehingga semua orang menjadi tertegun dan menangis karenanya.

Al-Harawi dan rombongannya kemudian pergi menemui Khalifah di istananya. Khalifah dan orang-orang dekatnya menerima rombongan ini, mendengarkan kisah dan ekspresi kesedihan mereka, sehingga ikut menangis juga saat mendengar semua itu. Tapi masalahnya, khalifah pada masa itu tidak memiliki kekuasaan yang riil untuk membantu kaum Muslimin di Syria dan Palestina. Tidak ada tindakan nyata yang diambil setelah itu. Maka orasi dan protes al-Harawi dan rombongannya hanya berujung pada tangisan manusia, atau mungkin juga doa dari mereka, tidak lebih dari itu.

Demikianlah nasib al-Quds ketika itu. Ia jatuh ke tangan pasukan Salib dan dikusai oleh mereka selama hampir satu abad. Kota ini perlu menunggu waktu yang cukup lama sebelum muncul kekuatan baru di Syria yang siap dan mampu untuk membebaskannya.

Kini al-Quds pun telah sekian dekade dikuasai oleh zionis. Kaum zionis ini pun banyak melakukan pembunuhan dan perilaku keji terhadap rakyat sipil yang ada di Palestina. Dan Muslim pada hari ini tidak memiliki kemampuan untuk membebaskannya. Mereka lemah dan sibuk memperlemah diri sendiri. Seolah-olah kelemahan yang ada belum mencukupi bagi mereka. Banyak dari Muslim hari ini pun mungkin hanya sanggup berdoa dan menangis saat mendengar apa yang terjadi di Palestina, ataupun di bumi-bumi Muslim yang lain. Bahkan mungkin banyak dari mereka yang tak peduli. “Toh mereka bukan saudara atau kawan saya,” gumam sebagian mereka, sambil sibuk mengirim dukungan SMS untuk salah satu kontestan Indonesian Idol atau sambil terkagum-kagum membolak-balik halaman buku yang ditulis oleh Irshad Manji.

Sejarah memang sering berulang. Dan seolah-olah syair yang ditulis oleh seorang penyair pada masa itu, sebagai respons atas kejatuhan al-Quds, kembali bergema pada hari ini:

“Putra-putra Islam, di belakangmu ada pertempuran yang di dalamnya kepala-kepala menggelinding di antara kakimu

Beraninya kalian tidur-tiduran di balik bayang-bayang keamanan, dalam hidup yang lembek seperti bunga-bungaan di taman?

Bagaimana mungkin mata dapat tertidur di balik pelupuknya di saat terjadi bencana yang akan membangkitkan setiap orang yang tidur?

Sementara saudara-saudara kalian di Suriah hanya dapat tidur di atas hewan-hewan tunggangan, atau di dalam perut burung-burung pemakan bangkai!”


Dan, seorang seorang penyair lainnya menulis bait yang menusuk ini:

“Tidakkah kalian berhutang kepada Allah dan Islam, untuk membela anak muda dan orang tua?

Jawablah kepada Tuhan! Terkutuklah kalian! Jawab!!!”


Ya Allah, mungkin keadaan kami pada hari ini memang sudah demikian buruknya. Entah bagaimana kami akan menjawabnya ….*/Singapura, 26 Sya’ban 1433/ 16 Juli 2012

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia

http://hidayatullah.com/read/23749/18/07/2012/menjelang-ramadhan-492-h-di-al-quds-.html

Thursday, July 5, 2012

Mursy, Zanki, dan Harapan Kebangkitan Islam

Selain ada Iran, Konflik di Suriah juga secara intensif melibatkan kekuatan Barat

Kamis, 05 Juli 2012
Oleh: Alwi Alatas

TERPILIHNYA Dr. Muhammad Mursy sebagai Presiden Mesir memberikan ruh dan gairah baru di negeri yang selama beberapa dekade dipimpin oleh diktator itu. Fenomena terpilihnya Mursy tidak hanya menarik dan berkesan bagi masyarakat Mesir atau komunitas di kawasan Timur Tengah semata, tetapi juga bagi masyarakat dunia pada umumnya. Kemenangan Mursy ikut dirasakan sebagai kemenangan, atau setidaknya sebagai sebuah contoh yang bisa diambil sebagai pelajaran, oleh banyak orang di negeri-negeri lainnya.


Editorial Media Indonesia pada hari Rabu, 27 Juni 2012, misalnya, mengangkat tema ‘Belajar dari Mursy’. Harian tersebut menyebutkan bahwa pidato yang dibawakan oleh Dr. Mursy melegakan semua pihak dan ia menyatakan siap menjadi pemimpin bagi semua warga Mesir. Mursy juga tidak menganggap dirinya sebagai penguasa, tetapi masyarakatlah yang merupakan penguasa, sebuah pesan yang perlu diambil pelajaran oleh para pemimpin di Tanah Air.

Sementara banyak pembaca yang tentunya telah mengetahui tentang Muhammad Mursy, karena berita tentang beliau banyak menghiasi media massa belakangan ini, mungkin banyak yang belum mengetahui tentang Nuruddin Zanki (1118-1174), tokoh yang juga hendak diangkat di dalam tulisan ini. Berikut ini merupakan informasi ringkas tentang Nuruddin Zanki. Beliau merupakan seorang keturunan Turki Saljuk yang menjadi sultan di Suriah menggantikan ayahnya yang wafat pada tahun 1146. Beliau memimpin wilayah tersebut pada masa Perang Salib II dan setelahnya.

Proses penyatuan wilayah Muslim di Suriah dan sekitarnya serta proses Islamisasi wilayah tersebut dapat dikatakan dimulai oleh tokoh ini, setelah sebelumnya kaum Muslimin berpecah belah dan sibuk dengan perselisihan mazhab dan politik. Pada akhir masa pemerintahannya, ia mengutus Shirkuh dan keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, untuk masuk ke Mesir yang kemudian berlanjut dengan proses penghapusan Dinasti Fatimiyah oleh Shalahuddin. Nuruddin juga membangun visi yang kuat untuk membebaskan al-Quds yang ketika itu dikuasai oleh pasukan salib, walaupun beliau meninggal dunia sebelum sempat mewujudkan hal itu. Perjuangannya kemudian diteruskan oleh Shalahuddin al-Ayyubi.


Melalui tulisan ini kami ingin melakukan sedikit komparasi antara apa yang terjadi di Mesir sekarang ini dengan apa yang pernah berlaku pada masa Nuruddin Zanki. Sebetulnya perbandingan ini agak terlalu dini dan barangkali tidak sepenuhnya relevan, karena di samping adanya perbedaan-perbedaan waktu, tempat, dan kondisi sosial-politik yang dihadapi oleh kedua tokoh ini, kemenangan Mursy juga masih berada di fase yang sangat awal dan belum diketahui akhirnya. Namun, ada beberapa kesamaan yang membuat kami tertarik untuk merefleksikan fenomena kemenangan Mursy ini pada apa yang pernah terjadi kira-kira 850 tahun yang lalu di kawasan yang hampir sama. Beberapa kesamaan itu terkait dengan suasana zaman serta harapan yang muncul di tengah masyarakat Muslim terkait dengan hadirnya masing-masing figur ini.

Kita akan memulainya dari beberapa kemiripan suasana zaman. Nuruddin Zanki muncul sebagai pemimpin ketika masyarakat Muslim masih relatif terpecah belah.

Para pemimpinnya enggan bersatu dan para ulama sibuk dengan perselisihan mazhab. Dunia Islam yang dihadapi Mursy pada hari ini juga kurang lebih seperti itu. Para pemimpin Arab dan Muslim cenderung bermusuh-musuhan, dan para ulama dan tokoh Islam sibuk dengan perselisihan di antara mereka. Dunia Islam pada masa Nuruddin Zanki terpecah antara Sunni dan Syiah: Abbasiyah yang Sunni di Iraq, Iran, Suriah, dan Jazirah Arab berhadapan dengan Fatimiyah yang berhaluan Syiah Ismailiyah di Mesir.

Dunia Islam pada hari ini juga mengalami polarisasi ini: Mesir, Palestina, Turki, dan Jazirah Arab yang Sunni serta Iran yang berpaham Syiah Itsna Asy’ariah dan kini berada dalam satu kubu dengan Iraq dan Suriah. Perbedaannya adalah, pada masa kemunculan Nuruddin Zanki, Dinasti Fatimiyah di Mesir sudah mulai melemah, sementara Iran pada hari ini masih memiliki pengaruh yang sangat menonjol di kawasan Teluk dan Timur Tengah.

Zanki dan Mursy sama-sama menghadapi isu yang sangat krusial di dunia Islam, yaitu jatuhnya al-Quds (Yerusalem) ke tangan non-Muslim. Saat Nuruddin Zanki menjadi sultan pada tahun 1146, al-Quds telah dikuasai oleh kekuatan salib Kristen selama 47 tahun.

Kini, ketika Mursy terpilih sebagai presiden Mesir, al-Quds telah dikuasai oleh Zionis Yahudi selama 64 tahun. Kedua tokoh ini, Zanki dan Mursy, sama-sama memiliki visi yang kuat untuk mengembalikan al-Quds ke tangan kaum Muslimin. Mursy merupakan kader al Ikhwan al Muslimun, organisasi yang telah sejak lama mencita-citakan pembebasan al-Quds dari tangan Zionis. Hamas di Palestina yang berhadap-hadapan langsung dengan kekuatan Israel, lebih memiliki afiliasi khusus dengan Ikhwanul dan bukannya dengan Iran sebagaimana yang disebut-sebut oleh beberapa media. Karena itulah kemenangan Mursy menimbulkan kekhawatiran yang besar di pihak Israel dan memberi harapan lebih besar bagi pembebasan Palestina.

Kepribadian keduanya juga memiliki beberapa kesamaan, setidaknya dalam semangat keagamaan. Nuruddin Zanki merupakan seorang pemimpin yang shalih dan zuhud. Beliau selalu menegakkan shalat berjamaah, melakukan shalat malam, menyintai para ulama, ikut meriwayatkan hadits, dan sangat menjunjung tinggi syariat dan penegakkan keadilan.

Muhammad Mursy juga merupakan seorang yang shalih, hafiz al-Qur’an, dan selalu berusaha menegakkan shalat berjamaah. Bahkan kini setelah menjadi presiden beliau tetap menjalankan kebiasaannya itu dan menjadi imam bagi para pengawal pribadinya (Kompas.com, 28 Juni 2012).

Kehidupan Zanki jauh dari kemewahan, ia tidak mau makan berlebihan, dan ia terbiasa hidup sederhana. Ia tidak memandang kerajaan yang berada di dalam genggamannya sebagai milik atau sumber penghasilannya.

Ketika istrinya mengutus seseorang untuk meminta tambahan uang belanja kepadanya, Nuruddin Zanki menegur dengan kata-kata, “… Seandainya dia berpikir bahwa harta yang berada di tanganku adalah hartaku, sesungguhnya itu adalah pikiran yang salah. Sesungguhnya itu adalah harta Muslimin, dan untuk maslahat Muslimin, dan disiapkan untuk keadaan perang. Aku telah dijadikan penjaganya, dan aku tak akan mengkhianati mereka.”

Mursy juga bukan seorang yang mementingkan kesenangan duniawi. Walaupun ia merupakan seorang doktor bidang teknik lulusan Amerika Serikat, kehidupannya relatif sederhana. Rumahnya berada di luar kota Kairo dan ia mengontrak rumah selama beraktivitas di Kairo. Saat diangkat menjadi presiden, tampaknya ia dan keluarganya merasa enggan untuk pindah dan tinggal di istana kepresidenan.

Kemunculan Nuruddin Zanki dan Mursy pada zaman mereka masing-masing meniupkan suatu harapan baru di tengah dunia Islam, setelah kaum Muslimin tenggelam dalam kemunduran dan kekalahan selama beberapa waktu lamanya. Di masa-masa Perang Salib, harapan itu mulai muncul sejak masa kepemimpinan Imaduddin Zanki, ayah Nuruddin, dan menjadi lebih kuat lagi pada masa kepemimpinan Nuruddin Zanki. Harapan ini terlihat jelas, misalnya, pada proses penyatuan Damaskus ke dalam wilayah kekuasaan Nuruddin Zanki pada tahun 1150-an. Ketika menguasai beberapa wilayah di sekitar Damaskus, Nuruddin Zanki melarang anak buahnya melakukan penjarahan atau kezaliman terhadap penduduk.

Pada suatu hari, ketika Nuruddin Zanki dan pasukannya tiba di wilayah Ba’albek pada pertengahan tahun 1150, tiba-tiba hujan turun selama tiga hari berturut-turut, setelah sekian lama hujan tidak turun di wilayah itu. Orang-orang mengaitkan hal ini dengan kehadiran Nuruddin Zanki dan mengatakan, “Ini semua disebabkan oleh pengaruhnya yang penuh berkah, keadilannya dan perbuatannya yang lurus.” Kini ketika Mursy meraih kemenangan di Mesir, harapan-harapan baru pun muncul di tengah kaum Muslimin di beberapa belahan dunia. Kaum Muslimin di luar Mesir ikut menyambut kemenangan Mursy, seolah-olah sosok ini adalah presidennya juga. Foto-foto serta berita tentang Mursy yang bermunculan di beberapa media sosial, menyiratkan cukup besarnya harapan itu.


Bagaimanapun, Mursy masih berada di fase awal kemenangannya. Nuruddin Zanki sudah melewati zamannya dan telah menutup perjuangannya dengan manis. Mursy masih harus melewati hari-harinya dan sejarah masih akan mencatatnya. Dulu Nuruddin Zanki memulai perjuangannya sebagai sultan di Suriah dan pada akhir masa pemerintahannya berhasil menaklukkan Mesir dan mengakhiri riwayat Dinasti Fatimiyah yang memang sedang sakratul maut. Penyatuan kedua kekuatan ini kemudian membuka jalan bagi Shalahuddin al-Ayyubi pada masa berikutnya untuk membebaskan al-Quds dan Palestina dari tangan pasukan salib.

Kini Mursy mulai memimpin Mesir dan pada saat yang sama Suriah yang dipimpin oleh rezim berlatar Syiah Alawit tengah bergejolak. Semua mata tengah memandang, akankah rezim di Suriah jatuh pada akhirnya dan akankah hal itu membuka jalan bagi dikuasainya kembali al-Quds oleh kaum Muslimin? Banyak yang memiliki harapan seperti ini.

Bagaimanapun, ada beberapa perbedaan yang perlu dicermati. Dinasti Fatimiyah di Mesir sudah sangat lemah pada masa Nuruddin Zanki dan Nuruddin Zanki tidak masuk ke Mesir melainkan karena dua alasan.

Pertama, karena pasukan salib masuk ke negeri itu atas undangan wazir Mesir dan berusaha menanamkan pengaruhnya di sana.

Kedua, karena khalifah Fatimiyah, yang berseberangan dengan wazirnya, meminta pertolongan kepada Nuruddin Zanki agar ia mengirimkan pasukan untuk membantu mereka. Hal ini disetujui Nuruddin Zanki dengan dikirimkannya Shirkuh dan keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, beserta pasukannya ke Mesir. Setelah Mesir dikuasai dan Shalahuddin kemudian menjadi pemimpin Mesir, proses perubahan pemerintahan Mesir menjadi Sunni dilakukan secara gradual dan tanpa kekerasan.

Barulah pada masa berikutnya, setelah wafatnya Nuruddin Zanki pada tahun 1174, Mesir dan Suriah bahu membahu di bawah kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi dalam melancarkan perjuangan sehingga tercapainya pembebasan al-Quds dan Palestina beberapa tahun berikutnya.

Keadaannya berbeda pada hari ini. Di tengah mulai munculnya kekuatan politik Sunni di Timur Tengah saat ini, kekuatan politik Syiah yang berpusat di Iran juga masih sangat menonjol. Hal ini membuka peluang bagi terjadinya gesekan dan benturan fisik di antara kedua belah pihak yang sebetulnya tidak menguntungkan bagi dunia Islam secara keseluruhan.

Ancaman benturan itu cukup terasa pada pertarungan di Suriah saat ini di mana pemerintahan Sunni pada umumnya berpihak pada masyarakat Suriah dan berusaha menjatuhkan rezim Assad, sementara Iran membela dan berusaha mempertahankan pemerintahan Suriah yang sejak lama telah menjadi sekutunya.

Konflik di Suriah juga secara intensif melibatkan kekuatan Barat. Masalahnya, jika pada masa Nuruddin Zanki dahulu Fatimiyah menjadi pihak yang bekerja sama dengan kekuatan salib, kini dunia Sunni berada di front yang sama dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya. Apa pun alasannya, keadaan ini dapat membawa pada dua konsekuensi: apakah Amerika Serikat yang dimanfaatkan untuk mendongkel rezim Suriah, atau Amerika Serikat dan sekutunya yang memanfaatkan kaum Muslimin untuk berperang satu sama lain dan pada gilirannya akan melanggengkan hegemoninya di Timur Tengah. Ini merupakan keadaan yang mesti disikapi dengan sangat hati-hati. Sebab sejarah sering memberitahu kita bahwa terjadinya kerjasama dengan musuh yang lebih kuat dalam sebuah konflik internal bukanlah pertanda yang bagus bagi independensi suatu masyarakat dari penjajahan.

Perjalanan Mursy dan Mesir masih cukup panjang. Kita pun tidak kehilangan harapan dan optimisme bahwa ini merupakan awal dari kemenangan dunia Islam serta pembebasan al-Quds. Harapan itu akan tetap ada, selama jalan-Nya tetap diikuti dan keridhaan serta pertolongan-Nya masih tetap menaungi umat ini.*/Singapura, 15 Sha’ban 1433/ 5 Juli 2012

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia

http://hidayatullah.com/read/23495/05/07/2012/mursy,-zanki,-dan-harapan-kebangkitan-islam.html



Tuesday, July 3, 2012

Nuruddin Zanki-Bagian 3-Republika

Nuruddin Mahmud Zanki: Raja Adil, Cahaya Agama (Bag 3)
Sabtu, 18 Pebruari 2012, 19:37 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Nuruddin Zanki dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan sangat taat terhadap agama. Ibnu Katsir melukiskan kesalehan sang pemimpin Muslim itu lewat sebuah kalimat, “Nuruddin itu kecanduan shalat malam, banyak berpuasa, dan berjihad dengan akidah yang benar.”

Ahli fikih di Baghdad, Abul Fath Al-Asyri Mu’id Nidhamiyyah, telah menghimpun sebuah biografi singkat Nuruddin. Dalam biografi tersebut Nuruddin digambarkan sebagai seoarang Muslim memelihara sholat tepat pada waktunya dan berjamaah. ‘’Ia menyempurnakan segala syaratnya, melaksanakan segala rukunnya, dan tuma’ninah dalam ruku dan sujudnya.’’

Ia juga merupakan pribadi yang zuhud terhadap dunia. Saking zuhudnya, konsumsi orang yang paling miskin pada zaman itu masih lebih tinggi dibandingkan yang ia makan. Pernah istrinya mengeluhkan beratnya penderitaan hidup. Maka Nuruddin pun memberinya tiga toko pribadi di Kota Homs.

Lalu ia berkata kepada istrinya, “Hanya itulah yang aku miliki. Dan jangan berharap untuk aku meletakkan jariku pada uang umat yang diamanatkan kepadaku. Aku tidak mau tenggelam ke siksa Allah karenamu.“


Ibnu Katsir juga mengatakan Nuruddin banyak membaca buku-buku agama serta mengikuti sunah Nabi. Ia senang mengerjakan kebajikan, ekonomis dalam berbelanja makanan dan pakaian. Ia tidak pernah menimbun harta dan tidak mementingkan dunia.

"Tidak pernah keluar dari mulutnya perkataan keji, baik ketika sedang marah maupun tidak marah. Ia banyak diam dan bersikap tenang," papar Ibnu Katsir. Nuruddin adalah orang yang adil dan memperhatikan keadilan dalam segala urusannya.

Menurut Ibnu Katsir, Nuruddin)tidak pernah membiarkan pungutan (pajak) dan kesulitan dalam negerinya. Ia membebaskan semua pungutan itu di Mesir, Syam, Aljazirah, dan Maushin.

Ibnu Katsir juga berpendapat Nuruddin menjalankan pemerintahannya dengan keadilan yang memesona. Ia mengikuti syariat yang suci, menyelenggarakan berbagai forum keadilan dan memimpinnya sendiri. Bergabung di dalamnya itu hakim, ahli fikih, dan mufti dari berbagai mazhab.

Setiap hari Selasa, ia duduk di serambi masjid agar kaum Muslimin dan ahli dzimah dapat menemuinya. Ia membangun forum keadilan di negerinya. Ia duduk bersama hakim di sana untuk melayani orang yang dizalimi, sekalipun ia berasal dari bangsa Yahudi.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Friska Yolandha

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/02/18/lzl7uz-nuruddin-mahmud-zanki-raja-adil-cahaya-agama-bag-3

Nuruddin Zanki-Bagian 2-Republika

Nuruddin Mahmud Zanki: Raja Adil, Cahaya Agama (Bag 2)
Sabtu, 18 Pebruari 2012, 19:07 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Kegagalan dua kerajaan Barat itu dimanfaatkan Nuruddin untuk melancarkan serangan ke tepi timur Orontes pada tahun 1149. Serangan itu dilakukan untuk menaklukkan Kerajaan Antiokhia. Pangeran Antiokhia, Raymond dari Poitiers, membantu membantu Istana Inab yang diserang oleh Nuruddin.

Dalam sebuah pertempuran yang hebat, tentara Muslim berhasil membuat pasukan Tentara Salib bertekuk lutut. Pangeran Antiokia bernama Raymond pun terbunuh dalam perang itu. Pasukan tentara Nuruddin pun berhasil merebut seluruh wilayah Antiokhia.

Nuruddin memiliki cita-cita yang luhur dan mulia. Ia ingin menyatukan pasukan tentara Muslim, mulai dari Sungai Eufrat hingga Nil untuk melawan Tentara Salib. Pada 1149, kakaknya tutup usia.tahta kerajaan di Mosul dilanjutkan oleh adiknya, Qutbuddin. Namun Qutbuddin menyerahkan kekuasaannya kepada Nuruddin, sehingga kerjaan tersebut menjadi satu seperti ketika di bawah kepemimpinan ayah mereka.

Pada 1150 dan 1151 Nuruddin berupaya menyerang Damaskus, karena ternyata Mu’inuddin melakukan perjanjian dengan Tentara Salib. Namun ia gagal menguasai Damaskus. Setelah melakukan berbagai upaya militer, akhirnya pada 1154, ia akhirnya dapat merebut Damaskus di bawah kepemimpinan Mujiruddin, penerus Mu’inuddin.

Damaskus menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Zanki dan seluruh Suriah disatukan di bawah kepemimpinan Nuruddin Zanki, mulai dari Edessa di utara hingga Hauran di selatan. Pada 1157, Nuruddin menyerang Ksatria Hospitaller di benteng Tentara Salib di Banias dan membuat mereka kocar-kacir.


Ada kisah menarik dari kehidupan Nuruddin. Saat itu, ia melaksanakan ibadah haji, ia berhasil menggagalkan usaha dua orang Yahudi yang menggali terowongan menuju makam Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut mereka lakukan untuk mencuri jasad Rasulullah agar dapat merendahkan martabat dan menghina umat islam.

Pada 562 Hijirah, Nuruddin menugaskan Salahuddin dan pamannya, Syirkuh, memimpin pasukan untuk melawan Pasukan Salib di Mesir. Pada saat itu terjadi perseteruan antara panglima Dargham dan menteri Syawur yang berkuasa di Dinasti Fatimiyah di Mesir. Satu pihak meminta bantuan pada Pasukan Salib, yang lain meminta bantuan pada Kesultanan Syam. Maka pertempuran antara pasukan Nuruddin dan Tentara Salib pun tak dapat terelakkan.

Usaha untuk menguasai Mesir baru tercapai dua tahun kemudian, ketika Nuruddin berhasil meringkus menteri Syawur yang bersekongkol dengan Tentara Salib. Lebih dari 50 kota berhasil direbut oleh Nuruddin, kecuali Al-Quds. Setelah menaklukkan Mesir, Nuruddin meyakini bahwa tujuannya mempersatukan Negara Muslim telah tercapai.

Namun terjadilah kesalahpahaman antara Nuruddin dan Salahuddin. Saat itu Nuruddin ingin mengepung kota Al-Kurk. Ia menyurati Salahuddin untuk mengirim pasukan ke tempat yang disepakati. Salahuddin pun berangkat ke tempat tersebut. Namun ia menyadari Mesir akan menjadi tidak aman apabila ditinggalkan.

Salahudin pun mengirimkan surat permintaan maaf kepada Nuruddin dan kembali ke Mesir. Hal ini membuat Nuruddin marah dan berniat untuk menyerang Salahuddin di Mesir. Akibatnya, Salahuddin akhirnya menyatakan ketundukannya atas Nuruddin dan Nuruddin membatalkan serangannya.

Nuruddin meninggal akibat komplikasi penyempitan pada tenggorokan. Ia wafat pada usia ke-59. Putranya, As-Salih Ismail Al-Malik menjadi pemimpin pengganti ayahnya. Perjuangan Nuruddin melawan Tentara Salib dilanjutkan oleh Salahuddin Al-Ayyubi.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: friska yolandha

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/02/18/lzl7rp-nuruddin-mahmud-zanki-raja-adil-cahaya-agama-bag-2

Koreksi:

Raymond dan pasukannya terbunuh oleh pasukan Nuruddin pada pertempuran di tahun 1149, tapi wilayah Antiokhia tidak jatuh ke tangan Nuruddin. Antiokhia merupakan wilayah yang berhasil dipertahankan oleh pasukan salib untuk waktu yang lama dan belum jatuh ke tangan Muslim pada masa Nuruddin Zanki ataupun Shalahuddin al-Ayyubi. Wilayah ini baru jatuh pada masa Dinasti Mamluk, tahun 1268.

Tidak pernah terjadi konflik antara Nuruddin Zanki dan Mu’inuddin Unur. Nuruddin Zanki baru berusaha menaklukkan Damaskus, karena alasan yang disebutkan di artikel, setelah wafatnya Mu’inuddin Unur pada tahun 1149.

Nuruddin Mahmud Zanki-Bagian I-Republika

Nuruddin Mahmud Zanki: Raja Adil, Cahaya Agama (Bag 1)
Sabtu, 18 Pebruari 2012, 18:44 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Ia adalah seorang raja dan pemimpin yang zuhud. Makanan yang dikonsumsinya tak lebih baik dari hidangan orang paling miskin pada zaman itu.

Umat Islam lebih mengenal sosok Salahuddin Al-Ayubi, sebagai pemimpin tentara Muslim dalam Perang Salib. Padahal, di era Perang Salib II, dunia Islam juga memiliki sosok pejuang dan pemimpin yang tak kalah hebatnya dibanding Salahudin. Tokoh pembela agama itu dikenal dengan nama Nuruddin Zanki.

‘’Nuruddin merupakan seorang yang sangat berjasa dalam penyatuan negara-negara muslim dan penakluk tentara salib dalam Perang Salib Kedua,’’ ujar Syekh Muhammad Said Mursi dalam bukunya Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Ia dikenal sebagai seorang tentara pejuang yang menguasai teknik berperang, hingga mampu memukul mundur pasukan Tentara Salib.

Sejatinya, Nuruddin Mahmud Zanki memiliki nama lengkap Al-Malik Al-Adil Nuruddin Abul Qasim Mahmud bin Imaduddin Zanki. Dalam darahnya mengalir ningrat dari Dinasti Zanki yang menguasai Suriah pada 1146 M hingga 1174 M. . ‘’Nama panggilannya adalah Abu Qasim dan ia dijuluki Nuruddin (Cahaya Agama) dan raja yang adil,’’ tutur Syekh Said Mursi.


Ayahnya bernama Imaduddin Zanki, penguasa Aleppo dan Mosul. Ketika ayahnya meninggal dunia, Nuruddin dan kakaknya, Saifuddin Ghazi I, membagi Kerajaan Zanki tersebut menjadi dua. Nuruddin menguasai Aleppo dan kakaknya menguasai Mosul. Kedua kerajaan tersebut dipisahkan oleh sungai Khabur.

Tak lama setelah menduduki tahta raja, Nuruddin memperluas wilayah kekuasaannya dan berhasil menaklukkan Kerajaan Antiokhia. Ia dan pasukannya merebut beberapa istana di bagian utara Suriah. Pasukan yang dipimpin Nuruddin juga berhasil mematahkan serangan Joscelin II yang berupaya mencaplok Kerajaan Edessa, salah satu daerah kekuasaan Nuruddin.

Ia terpaksa harus mengusir seluruh populasi Kristen dari kota tersebut sebagai hukuman karena mereka bersekutu dan membantu pasukan Jocelin II. Peristiwa itu terjadi pada Perang Salib I. Pada 1147, Nuruddin menandatangani perjanjian bilateral dengan Gubernur Damaskus, Mu’inuddin Unur.

Kebijakan itu dilakukannya untuk memperkuat hubungan dengan negeri tetangga di utara agar dapat melawan musuh mereka di Barat. Sebagai bagian dari kerja sama, ia menikahi anak perempuan sang gubernur. Setelah keduanya membangun aliansi, mereka menyerang kota Bosra dan Sarkhand. Kedua kota tersebut direbut oleh pengikut Mu’inuddin yang memberontak.

Lantaran gagal merebut Kerajaan Edessa pada Perang Salib I, kerajaan-kerajaan Kristen dari Barat mulai melancarkan misi militer lewat Perang Salib II. Adalah Raja Prancis Louis VII, dan Raja Jerman Conrad III adalah tokoh yang memantik meletusnya Perang Salib II. Mereka berambisi untuk kembali merebut wilayah yang telah ditaklukkan pasukan tentara Muslim.

Namun, upaya mereka untuk menguasai wilayah Kristen di Suriah tak berjalan mulus. Pasukan Tentara Salib dihadapkan pada kekuatan militer tangguh yang dipimpin Nuruddin. Ambisi Raja Louis VII dan Conrad III pun tak kesampaian. Mereka gagal merebut Damaskus.
Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Friska Yolandha

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/02/18/lzl7a6-nuruddin-mahmud-zanki-raja-adil-cahaya-agama-bag-1

Koreksi: Edessa termasuk kerajaan pertama yang berhasil direbut oleh pasukan salib pada Perang Salib I. Terjadinya Perang Salib II dipicu oleh jatuhnya kembali kerajaan itu ke tangan Imaduddin Zanki, ayah Nuruddin, pada tahun 1144.

Monday, July 2, 2012

Buku Nuruddin Zanki dan Perang salib

Deskripsi:

Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama membahas tentang Perang Salib I dan kekalahan umat Islam di dalamnya. Bagian kedua membahas tentang Perang Salib II, kemunculan Nuruddin Zanki serta peranannya membangun nilai-nilai Islam di Syria-Palestina dalam upaya menghadapi pasukan salib. Nuruddin Zanki merupakan seorang Sultan Bani Saljuk yang shalih dan merupakan pendahulu Shalahuddin al-Ayyubi. Kemunculan Nuruddin Zanki merupakan awal dari proses kemenangan kaum Muslimin dalam menghadapi kekuatan salib. Peranannya sangat penting dalam sejarah Islam, tapi sayangnya kurang dikenal oleh kaum Muslimin kontemporer. Ibn al-Athir, seorang sejarawan Muslim, berkomentar tentang beliau: "Saya telah membaca kehidupan raja-raja terdahulu, dan setelah Khulafa al-Rashidin dan Umar ibn Abdul Aziz, saya tidak menemukan seseorang yang lebih lurus dan lebh gigih dalam menegakkan keadilan (selain Nuruddin Zanki)."

Walaupun agak tebal, buku ini ditulis dengan menggunakan pendekatan naratif, sehingga mudah dibaca dan dipahami. Buku ini juga dilengkapi dengan peta dan ilustrasi, serta keterangan khusus untuk nama-nama dan istilah-istilah penting, sehingga lebih membantu pembaca yang belum begitu akrab dengan jalannya sejarah yang dijelaskan di dalam buku ini.

Bagi siapa saja yang ingin mengetahui secara mendalam tentang terjadinya perang salib hingga masa kepemimpinan Nuruddin Zanki, buku ini insya Allah akan sangat membantu. Jangan lewatkan membaca buku ini dan memasukkannya dalam daftar koleksi Anda.

Buku Baru

Sudah terbit di Indonesia: Judul: Nuruddin Zanki dan Perang Salib Penulis: Alwi Alatas Penerbit: Zikrul Hakim (Jakarta) Tahun Terbit: 2012 Tebal: 441 halaman Harga: Rp. 70.000,00